With Bocic

With Bocic

Senin, 11 Februari 2013

karangan cerpen


Tak Sempurna Tapi Penuh Makna

Oleh : - - - -



Kriiiiing...! Kriiiing! Jam weker yang menunjukkan pukul 06.00 tiba-tiba menyambar telinga Septia. Parahnya lagi teriakan  Nenek yang terdengar dari dapur membuat  Septia terpaksa untuk bangun. Dengan rambut yang tak layak pandang, Septia segera bergegas ke dapur untuk menemui Nenek.

”Ada apa, Nek? ” tanya Septia.

”Lihatlah ke jendela, ayahmu baru saja memarkirkan mobilnya di halaman rumah.” kata Nenek memberitahu.

”Benarkah? Horeeeee Ayah pulangg!” jerit Septia.

Dari kecil Septia hanya tinggal bersama Neneknya, Nek ijah. Ibunya sudah pergi ke Rahmatullah. Ayahnya bekerja di luar kota.  Mungkin itulah sebabnya Pak Bram, ayah Septia,  kurang memperhatikan Septia.

”Assalamualaikum”

Terdengar suara salam di depan rumah. Ya, memang benar, siapa lagi kalau bukan Pak Bram yang datang.

”Wa’alaikumsalam...!” sahut  Septia sambil membuka pintu dan menyambut kedatangan ayahnya dengan wajah yang berseri – seri. Mereka bertiga pun duduk di ruang keluarga dan suasana berubah menjadi hening. Septia yang mulanya menyambut kedatangan ayahnya dengan hati gembira menjadi membisu dengan kebingungan yang melanda pikirannya.

Baru kali ini terjadi keheningan seperti ini. Biasanya banyak hal yang diceritakan Pak Bram kepada Septia, begitu juga sebaliknya. Ini memang benar benar berbeda dari kepulangan Pak Bram bulan lalu. Entahlah, Septia hanya menebak nebak, Apa marah, lelah, stress, atau apa? Sungguh hal ini membuat Septia gelisah. Akhirnya Septia yang memulai pembicaraan.

”Mengapa wajah Ayah seperti itu?” tanya Septia dengan heran.

Awalnya Pak Bram hanya terdiam dan sesekali memalingkan pandangannya menuju wajah  Nek Ijah. Tingkah ayahnya itu membuat Septia semakin heran, dan berpikir seperti ada yang disembunyikan darinya. Tetapi sesaat kemudian wajah Pak Bram berubah menjadi seperti orang bijak.

”Sebenarnya ada hal penting yang akan ayah bicarakan kepadamu, Nak,”

”Hal penting apa Yah? Sungguh tidak seperti biasanya Ayah begini

”Selama ini Ayah merasa terbebani dengan sesuatu yang sudah sekian lama ini ayah menutupinya dari mu, ayah tak ingin Kau tahu perasaan ayah yang kacau ini, tapi semua itu padam ketika ayah menemukan solusinya.

Mendengar ayahnya berkata seperti itu, Septia sungguh merasa bersalah. Betapa egois dirinya yang tak pernah tahu akan segala perasaan ayahnya.

”Solusinya apa, Yah? ”

”Mencari ibu baru yang akan merawatmu,” jawabnya dengan ragu karena tak ingin menyakiti perasaan Septia.

”Apaaa? Tidakkkk! Ayah tak boleh menikah lagi! Sampai kapan pun tidak akan ada yang menggantikan ibuku! Ibuku hanya satu dan itu abadi!” bentak Septia dengan kasar.

”Tapi hanya itu yang bisa ayah perbuat, toh nenekmu sudah tua, kasihan kalau masih harus merawatmu seorang diri, dengan adanya ibu baru Kamu bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, Nak.”

”Benar kata Ayahmu, nenek kan sudah tua, tubuh nenek sudah berbeda dengan dulu.”

Tapi bagi Septia, Nenek tetaplah sosok mutiara sebagai pengganti ibunya. Sebagian suka duka yang dialaminya selalu diceritakan kepada nenek kesayangannya itu, dan tak henti-hentinya nenek pun selalu menasehatinya karena ulahnya yang nakal.

Hari sudah larut malam, cuaca mendung tapi hujan tak juga turun, hanya sesekali terdengar suara petir yang menyambar. Septia hanya merenungi kejadian tadi pagi di kamarnya. Tepat pukul 23.00 Septia belum juga memejamkan matanya. Dipandangnya  foto-foto ibunya. Foto-foto yang membuatnya teringat kepada sosok wanita yang melahirkannya.

”Ibuuu.. seandainya engkau ada disini, mungkin jalan hidup yang ku lalui tak ada duka seperti ini. Aku rindu pelukmu, aku rindu kasih sayang darimu, aku pun juga rindu canda tawamu yang dulu selalu menghiburku.” rintih Septia.

Kini sudah 3 tahun ibu meninggalkan keluarga ini. Keluarnya setetes air dari mata Ibu bersamaan dengan berhentinya nafas ibu pada saat itu. Saat itu juga terakhir kali aku memeluk tubuh ibu dengan sangat erat.

Setiap orang pasti merasakan duka yang sangat dalam ketika harus kehilangan orang yang begitu berarti baginya. Begitu pula dengan Septia pada saat itu. Rasanya Tuhan tidak adil jika harus mengambil ibunya terlebih dahulu. Mulut Septia tak mampu mengucap kata-kata, tapi hatinya mampu merasakan pedihnya kejadiaan pada saat itu. Septia merasa kebahagiaan selalu hadir dalam hidup orang lain, tapi tidak untuk dirinya. Ia hanya merasa duka yang selalu hadir dalam hidupnya.

”Hari sudah larut malam, mengapa belum tidur?” tanya Nek Ijah yang muncul secara tiba-tiba.

Hadirnya Nek Ijah benar-benar membuat Septia kaget. Kebetulan pada malam itu Nek Ijah juga belum tidur.

”Menurut Nenek, apa yang harus ku lakukan pada keadaan seperti ini?”

”Keputusan ada di tangan mu, Nak. Yang jelas seorang anak harus tetap hormat kepada orang tuanya.”

Perkataan Nek Ijah sungguh membuat pikiran Septia semakin kacau. Bagaimana mungkin aku hormat terhadap orang yang tak memperdulikanku? Ingin rasanya aku terbebas dari semua masalah ini, ingin sekali memulai kehidupan baru, tanpa ayah dan tanpa masa laluku. Mungkin ayah sudah tak sayang padaku dan sudah lelah mengurusiku. Mungkin juga ayah telah lupa dengan kebersamaan yang dahulu selalu terjalin. Ku akui mungkin aku memang berdosa telah membenci ayahku sendiri. Tapi sesungguhnya tetap ada rasa rindu di balik rasa benci. Tapi itu merupakan fakta yang ada di pikiran Septia.

Keputusan Pak Bram pun tak bisa diganggu gugat lagi! Pernikahannya telah direncanakan dengan pasti. Septia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Baginya tak ada guna ia menggagalkan pernikahan itu. Tak ada seorang pun yang membelanya. Neneknya yang selalu membelanya pun kali ini tak mau membelanya.

Hari demi hari semakin cepat berlalu. Hari yang tak pernah Septia inginkan pun tiba juga. Ya, pernikahan itu tiba. Dengan terpaksa Septia menghadiri acara itu. Tatapan matanya langsung tertuju kepada calon ibunya. Tak disangka wajahnya benar-benar mirip dengan ibu kandungnya. ”Sungguh aku ingin memeluknya.” Gumamnya lirih. Acara pembukaan telah terlewatkan. Acara inti pun dimulai. Sungguh telinga Septia tak kuat saat hadirin berkata ”Sahhhhh......”. Resmi sudah mereka menjadi pasangan.

Hari esok tiba. Septia telah terbangun dari tidurnya. Ia pun tak sadar jika semalam tertidur pulas. Perlahan dilangkahkannya kakinya keluar kamar. Tak sengaja ia mendengar suara doa ayahnya ”Ya Tuhan.... Maafkan aku  yang telah menyakiti hati anakku sendiri. Sesungguhnya aku tak bermaksut menyakiti hatinya. Aku sadar bahwa hidupku tidak lama lagi. Aku sudah tak tahan dengan penyakit yang perlahan-lahan menyiksaku. Aku hanya ingin yang terbaik untuknya, untuk masa depannya, karena aku sangat menyayanginya.”

Septia hanya diam, hatinya sangat tersentuh mendengar doa tadi. Walaupun sebenarnya dia bingung dengan ucapan ayahnya yang berkata bahwa penyakit yang perlahan lahan menyiksa ayahnya. Ia merasa sangat bersalah karena tak menghormati keputusan ayahnya. Rasa bersalah sekaligus menyesal mulai hadir dalam benaknya. Mendadak ia menjadi lemas dan tertunduk. Septia menangis. Air matanya tidak terhentikan, mengiringi rasa penyesalannya.

Ketika ayahnya selesai berdoa, Septia langsung berlari untuk memeluk ayahnya. Kata maaf tak lupa ia ucapkan, tetapi ayahnya hanya membalas dengan tangis. Tangisan Pak Bram merupakan tangis bahagia seorang ayah. Beberapa detik mereka sempat saling pandang memandang.

”Sudahlah, jangan kau sesali, Nak. Sebenarnya umur ayah tidak lama lagi. Penyakit kanker telah menyerang tubuh ayah. Ayah menikah hanya ingin mencari seorang wanita yang mau merawatmu.”

Dalam hati Septia tak sanggup menahan air matanya. Jelas tak terbayang di pikiran Septia, seorang lelaki yang terlihat selalu tegar, seolah-olah tak pernah ada masalah, ternyata menderita penyakit yang sangat berbahaya. Sesungguhnya Septia melihat kesedihan yang dalam dari ayahnya. Mata Pak Bram seperti menahan tangis dan tetap berusaha membuat Septia tersenyum. Dipeluknya Septia dengan erat, sesaat mengingatkan Septia saat ia memeluk erat ibunya.

”Sesungguhnya aku lebih senang tinggal bersama Ayah dan Nenek saja. Ayah harus kuat, berjanjilah untuk selalu menemaniku, Yah.”

Oh Tuhan.... Aku hanya manusia biasa. Jangan kau beri aku cobaan yang tak bisa kuhadapi sendiri.

”Ayah sadar bahwa ayah kurang memberi perhatian kepadamu, Nak. Ayah memang bukan orang tua yang sempurna bagimu”

”Ayah memang tidak sempurna, karena tak ada manusia yang sempurna. Tapi hidupku menjadi sempurna apabila bersama Ayah.”

Setelah Pak Bram menikah, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya. Hari demi hari berlalu. Penyakit Pak Bram semakin parah. Penyakit kankernya semakin menyebar ke tubuhnya, sampai ia harus terbaring di UGD.

”Maaf, Tuhan berkata lain, Kami tidak dapat menyelamatkannya.” kata dokter dengan pasrah

”Ayah... Jangan tinggalkan aku sendirian.”

Setelah wafatnya Pak Bram, Septia hidup bersama ibu barunya serta Nek Ijah. Sejak saat itu pula, dia perlahan mencoba menyayangi ibu barunya itu seperti ibu kandungnya sendiri. Menjalani lika-liku kehidupan bersama-sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar