Tak Sempurna Tapi Penuh Makna
Oleh
: - - - -
Kriiiiing...! Kriiiing! Jam weker yang
menunjukkan pukul 06.00 tiba-tiba menyambar telinga Septia. Parahnya lagi
teriakan Nenek yang terdengar dari
dapur membuat Septia terpaksa untuk
bangun. Dengan rambut yang tak layak pandang, Septia segera bergegas ke dapur
untuk menemui Nenek.
”Ada apa, Nek?
” tanya Septia.
”Lihatlah ke jendela, ayahmu baru
saja memarkirkan mobilnya di halaman rumah.” kata Nenek memberitahu.
”Benarkah?
Horeeeee Ayah
pulangg!” jerit Septia.
Dari kecil
Septia hanya tinggal bersama Neneknya, Nek ijah. Ibunya sudah pergi ke Rahmatullah.
Ayahnya bekerja di
luar kota. Mungkin
itulah sebabnya Pak Bram, ayah Septia, kurang memperhatikan Septia.
”Assalamualaikum”
Terdengar suara
salam di depan rumah. Ya, memang benar, siapa lagi kalau bukan Pak Bram yang datang.
”Wa’alaikumsalam...!” sahut Septia
sambil membuka pintu dan
menyambut kedatangan ayahnya dengan wajah yang berseri – seri. Mereka bertiga
pun duduk di ruang keluarga dan suasana berubah menjadi hening. Septia yang
mulanya menyambut kedatangan ayahnya dengan hati gembira menjadi membisu dengan
kebingungan yang melanda pikirannya.
Baru kali ini
terjadi keheningan seperti ini. Biasanya banyak hal yang diceritakan Pak Bram
kepada Septia, begitu juga sebaliknya. Ini memang benar benar berbeda dari
kepulangan Pak Bram bulan lalu. Entahlah, Septia hanya menebak nebak, Apa
marah, lelah, stress, atau apa? Sungguh hal ini membuat Septia gelisah. Akhirnya
Septia yang memulai pembicaraan.
”Mengapa wajah
Ayah seperti itu?” tanya Septia dengan heran.
Awalnya Pak Bram
hanya terdiam dan sesekali memalingkan pandangannya menuju wajah Nek Ijah. Tingkah ayahnya itu membuat Septia
semakin heran, dan berpikir seperti ada yang disembunyikan darinya. Tetapi
sesaat kemudian wajah Pak Bram berubah menjadi seperti orang bijak.
”Sebenarnya ada
hal penting yang akan ayah bicarakan kepadamu, Nak,”
”Hal penting
apa Yah? Sungguh tidak seperti biasanya Ayah begini
”Selama ini Ayah merasa terbebani
dengan sesuatu yang sudah sekian lama ini ayah menutupinya dari mu, ayah tak
ingin Kau tahu perasaan ayah yang kacau ini, tapi semua itu padam ketika ayah menemukan
solusinya.
Mendengar
ayahnya berkata seperti itu, Septia sungguh merasa bersalah. Betapa egois
dirinya yang tak pernah tahu akan segala perasaan ayahnya.
”Solusinya apa,
Yah? ”
”Mencari ibu
baru yang akan merawatmu,” jawabnya dengan ragu karena tak ingin menyakiti
perasaan Septia.
”Apaaa? Tidakkkk!
Ayah tak boleh menikah lagi! Sampai kapan pun tidak akan ada yang menggantikan
ibuku! Ibuku hanya satu dan itu abadi!” bentak Septia dengan kasar.
”Tapi hanya itu
yang bisa ayah perbuat, toh nenekmu sudah tua, kasihan kalau masih harus
merawatmu seorang diri, dengan adanya ibu baru Kamu bisa merasakan kasih sayang
seorang ibu, Nak.”
”Benar kata Ayahmu,
nenek kan sudah tua, tubuh nenek sudah berbeda dengan dulu.”
Tapi bagi
Septia, Nenek tetaplah sosok mutiara sebagai pengganti ibunya. Sebagian suka
duka yang dialaminya selalu diceritakan kepada nenek kesayangannya itu, dan tak
henti-hentinya nenek pun selalu menasehatinya karena ulahnya yang nakal.
Hari sudah
larut malam, cuaca mendung tapi hujan tak juga turun, hanya sesekali terdengar
suara petir yang menyambar. Septia hanya merenungi kejadian tadi pagi di
kamarnya. Tepat pukul 23.00 Septia belum juga memejamkan matanya. Dipandangnya foto-foto ibunya. Foto-foto yang membuatnya
teringat kepada sosok wanita yang melahirkannya.
”Ibuuu..
seandainya engkau ada disini, mungkin jalan hidup yang ku lalui tak ada duka
seperti ini. Aku rindu pelukmu, aku rindu kasih sayang darimu, aku pun juga
rindu canda tawamu yang dulu selalu menghiburku.” rintih Septia.
Kini sudah 3
tahun ibu meninggalkan keluarga ini. Keluarnya setetes air dari mata Ibu bersamaan
dengan berhentinya nafas ibu pada saat itu. Saat itu juga terakhir kali aku memeluk
tubuh ibu dengan sangat erat.
Setiap orang
pasti merasakan duka yang sangat dalam ketika harus kehilangan orang yang
begitu berarti baginya. Begitu pula dengan Septia pada saat itu. Rasanya Tuhan
tidak adil jika harus mengambil ibunya terlebih dahulu. Mulut Septia tak mampu
mengucap kata-kata, tapi hatinya mampu merasakan pedihnya kejadiaan pada saat itu.
Septia merasa kebahagiaan selalu hadir dalam hidup orang lain, tapi tidak untuk
dirinya. Ia hanya merasa duka yang selalu hadir dalam hidupnya.
”Hari sudah
larut malam, mengapa belum tidur?” tanya Nek Ijah yang muncul secara tiba-tiba.
Hadirnya Nek
Ijah benar-benar membuat Septia kaget. Kebetulan pada malam itu Nek Ijah juga
belum tidur.
”Menurut Nenek,
apa yang harus ku lakukan pada keadaan seperti ini?”
”Keputusan ada
di tangan mu, Nak. Yang jelas seorang anak harus tetap hormat kepada orang
tuanya.”
Perkataan Nek
Ijah sungguh membuat pikiran Septia semakin kacau. Bagaimana mungkin aku hormat
terhadap orang yang tak memperdulikanku? Ingin rasanya aku terbebas dari semua
masalah ini, ingin sekali memulai kehidupan baru, tanpa ayah dan tanpa masa
laluku. Mungkin ayah sudah tak sayang padaku dan sudah lelah mengurusiku.
Mungkin juga ayah telah lupa dengan kebersamaan yang dahulu selalu terjalin. Ku
akui mungkin aku memang berdosa telah membenci ayahku sendiri. Tapi
sesungguhnya tetap ada rasa rindu di balik rasa benci. Tapi itu merupakan fakta
yang ada di pikiran Septia.
Keputusan Pak
Bram pun tak bisa diganggu gugat lagi! Pernikahannya telah direncanakan dengan
pasti. Septia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Baginya tak ada guna ia
menggagalkan pernikahan itu. Tak ada seorang pun yang membelanya. Neneknya yang
selalu membelanya pun kali ini tak mau membelanya.
Hari demi hari
semakin cepat berlalu. Hari yang tak pernah Septia inginkan pun tiba juga. Ya,
pernikahan itu tiba. Dengan terpaksa Septia menghadiri acara itu. Tatapan
matanya langsung tertuju kepada calon ibunya. Tak disangka wajahnya benar-benar
mirip dengan ibu kandungnya. ”Sungguh aku ingin memeluknya.” Gumamnya lirih.
Acara pembukaan telah terlewatkan. Acara inti pun dimulai. Sungguh telinga
Septia tak kuat saat hadirin berkata ”Sahhhhh......”. Resmi sudah mereka
menjadi pasangan.
Hari esok tiba.
Septia telah terbangun dari tidurnya. Ia pun tak sadar jika semalam tertidur
pulas. Perlahan dilangkahkannya kakinya keluar kamar. Tak sengaja ia mendengar
suara doa ayahnya ”Ya Tuhan.... Maafkan aku
yang telah menyakiti hati anakku sendiri. Sesungguhnya aku tak bermaksut
menyakiti hatinya. Aku sadar bahwa hidupku tidak lama lagi. Aku sudah tak tahan
dengan penyakit yang perlahan-lahan menyiksaku. Aku hanya ingin yang terbaik
untuknya, untuk masa depannya, karena aku sangat menyayanginya.”
Septia hanya
diam, hatinya sangat tersentuh mendengar doa tadi. Walaupun sebenarnya dia
bingung dengan ucapan ayahnya yang berkata bahwa penyakit yang perlahan lahan
menyiksa ayahnya. Ia merasa sangat bersalah karena tak menghormati keputusan
ayahnya. Rasa bersalah sekaligus menyesal mulai hadir dalam benaknya. Mendadak
ia menjadi lemas dan tertunduk. Septia menangis. Air matanya tidak terhentikan,
mengiringi rasa penyesalannya.
Ketika ayahnya
selesai berdoa, Septia langsung berlari untuk memeluk ayahnya. Kata maaf tak lupa
ia ucapkan, tetapi ayahnya hanya membalas dengan tangis. Tangisan Pak Bram
merupakan tangis bahagia seorang ayah. Beberapa detik mereka sempat saling pandang
memandang.
”Sudahlah,
jangan kau sesali, Nak. Sebenarnya umur ayah tidak lama lagi. Penyakit kanker
telah menyerang tubuh ayah. Ayah menikah hanya ingin mencari seorang wanita yang
mau merawatmu.”
Dalam hati
Septia tak sanggup menahan air matanya. Jelas tak terbayang di pikiran Septia, seorang
lelaki yang terlihat selalu tegar, seolah-olah tak pernah ada masalah, ternyata
menderita penyakit yang sangat berbahaya. Sesungguhnya Septia melihat kesedihan
yang dalam dari ayahnya. Mata Pak Bram seperti menahan tangis dan tetap
berusaha membuat Septia tersenyum. Dipeluknya Septia dengan erat, sesaat
mengingatkan Septia saat ia memeluk erat ibunya.
”Sesungguhnya
aku lebih senang tinggal bersama Ayah dan Nenek saja. Ayah harus kuat,
berjanjilah untuk selalu menemaniku, Yah.”
Oh Tuhan....
Aku hanya manusia biasa. Jangan kau beri aku cobaan yang tak bisa kuhadapi
sendiri.
”Ayah sadar
bahwa ayah kurang memberi perhatian kepadamu, Nak. Ayah memang bukan orang tua
yang sempurna bagimu”
”Ayah memang
tidak sempurna, karena tak ada manusia yang sempurna. Tapi hidupku menjadi
sempurna apabila bersama Ayah.”
Setelah Pak
Bram menikah, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya. Hari demi hari berlalu.
Penyakit Pak Bram semakin parah. Penyakit kankernya semakin menyebar ke
tubuhnya, sampai ia harus terbaring di UGD.
”Maaf, Tuhan
berkata lain, Kami tidak dapat menyelamatkannya.” kata dokter dengan pasrah
”Ayah... Jangan
tinggalkan aku sendirian.”
Setelah
wafatnya Pak Bram, Septia hidup bersama ibu barunya serta Nek Ijah. Sejak saat
itu pula, dia perlahan mencoba menyayangi ibu barunya itu seperti ibu
kandungnya sendiri. Menjalani lika-liku kehidupan bersama-sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar